Jejak Kebijaksanaan di Tengah Bencana: Mimbar Agama Buddha TVRI Angkat Ekoteologi sebagai Jawaban Krisis Lingkungan

Uncategorized72 Dilihat

Jejak Kebijaksanaan di Tengah Bencana: Mimbar Agama Buddha TVRI Angkat Ekoteologi sebagai Jawaban Krisis LingkunganMakassar, 3 Desember 2025 — Di tengah meningkatnya frekuensi bencana alam di berbagai daerah Indonesia, Mimbar Agama Buddha TVRI kembali menghadirkan pesan yang menggugah kesadaran publik. Melalui episode bertema “Pesan dari Bumi yang Terlukai”, program ini mengajak umat Buddha dan masyarakat luas untuk memahami bencana ekologis dari perspektif kebijaksanaan ajaran Buddha.

Acara yang dipandu oleh Host Suzanna ini menghadirkan dua narasumber kompeten:Dr,Ir Yonggris,M,M, Ketua Permabudhi Sulawesi Selatan, dan Sumarjo, Pembimas Buddha Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan. Keduanya mengulas bagaimana ajaran Buddha memberikan panduan moral dan spiritual dalam merespons krisis lingkungan yang makin nyata.

Dalam dialog tersebut, Yonggris menegaskan bahwa bencana alam bukan bentuk kemarahan bumi, melainkan manifestasi dari Anicca, hukum perubahan yang mengatur seluruh fenomena alam. Ia menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan akibat perilaku manusia—penebangan hutan, pencemaran air, hingga pengelolaan ruang yang tidak bijak—telah mempercepat ketidakseimbangan alam

“Alam tidak marah. Alam hanya menata ulang dirinya. Ketika kita merusaknya, kitalah yang menanggung akibatnya,” ujarnya.

Yonggris menekankan perlunya kesadaran kolektif untuk memperbaiki hubungan manusia dengan lingkungan demi meminimalkan dampak bencana.

Sementara itu, Sumarjo menjelaskan bahwa prinsip Paticcasamuppada (sebab-akibat yang saling bergantungan) menegaskan hubungan erat antara tindakan manusia dan kondisi bumi. Ia menilai bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban moral dalam ajaran Buddha yang berakar pada welas asih.

“Alam adalah rumah kita bersama. Ketika rumah itu retak, manusialah yang paling dulu merasakan getarannya,” tegasnya.

Pemikiran kedua narasumber ini selaras dengan Asta Protas Menteri Agama, yang menekankan pentingnya penguatan ekoteologi dalam kehidupan beragama. Nilai-nilai seperti harmoni, welas asih, edukasi ekologis berbasis komunitas, dan gerakan kepedulian bencana menjadi pedoman dalam membangun karakter umat beragama yang ramah lingkungan.

Di Sulawesi Selatan, konsep ini diterjemahkan melalui Asta Aksi Kemenag Sulsel, antara lain:

  • Gerakan Religi Ramah Lingkungan
  • Komunitas Hijau Vihara
  • Mitigasi Bencana Berbasis Umat
  • Pendidikan Lingkungan di Sekolah Minggu Buddha

Dalam sesi pembahasan mitigasi, konsep Eco Dhamma mencuat sebagai wujud penerapan spiritualitas Buddhis dalam menjaga alam. Yonggris memaparkan bahwa Eco Dhamma adalah gaya hidup yang mengutamakan kesederhanaan, penghematan energi, pemeliharaan ruang hijau, serta praktik kebajikan dalam keseharian.

Sumarjo menambahkan langkah konkret yang dapat dilakukan komunitas, seperti:

  • gerakan menanam pohon,
  • perawatan daerah aliran sungai (DAS),
  • edukasi ekologis sejak dini kepada anak-anak dan remaja.

Menutup acara, Yonggris menyampaikan pesan mendalam bahwa bencana dapat menjadi guru yang mengingatkan manusia akan pentingnya harmoni dengan alam.

“Jika kita melindungi alam, ia akan menjaga kita. Jika kita merusaknya, kita pula yang merasakan penderitaannya.”

Melalui siaran ini, Kementerian Agama mengajak umat Buddha memperkuat gerakan ekoteologi dan menjadikan bumi sebagai ruang hidup yang dijaga dengan cinta, welas asih, dan kesadaran. Program ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebijaksanaan Buddhis relevan dalam menghadapi tantangan ekologis masa kini.

Kaperwil Sulsel JUMRIATI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *